Minggu, 11 Mei 2014

Memahami Definisi Ahlus Sunnah wal Jama'ah



Memahami Definisi Ahlus Sunnah wal Jama'ah

Ahlus Sunnah adalah, mereka yang menempuh seperti apa yang pernah ditempuh oleh Rasulullah shalallahu’alahi wa sallam dan para shahabatnya radiyallahu’anhum. Disebutnya Ahlus Sunnah, karena kuatnya (mereka) berpegang dan berittiba’ (mengikuti) Sunnah Nabi shalallahu’alahi wa sallam dan para shahabatnya radiyallahu’anhum.

As-Sunnah menurut bahasa (etimologi) adalah jalan/cara, apakah jalan itu baik atau buruk.[1]

Sedangkan menurut ulama ‘aqidah (terminologi), As-Sunnah adalah petunjuk yang telah dilakukan oleh Rasulullah shalallahu’alahi wa sallam dan para shahabatnya, baik tentang ilmu, i’tiqad (keyakinan), perkataan maupun perbuatan. Dan ini adalah As-Sunnah yang wajib diikuti, orang yang mengikutinya akan dipuji dan orang yang menyalahinya akan dicela.[2]

Pengertian As-Sunnah menurut Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahumullah (wafat 795 H) : “As-Sunnah ialah jalan yang ditempuh, mencakup di dalamnya berpegang teguh kepada apa yang dilaksanakan Nabi shalallahu’alahi wa sallam dan para khalifahnya yang terpimpin dan lurus berupa i’tiqad (keyakinan), perkataan dan perbuatan. Itulah As-Sunnah yang sempurna. Oleh karena itu generasi Salaf terdahulu tidak menamakan As-Sunnah kecuali kecuali kepada apa saja yang mencakup tiga aspek tersebut. Hal ini diriwayatkan dari Imam Hasan al-Basri (wafat th.110 H), Imam al-Auza’i (wafat th.157H) dan Imam Fudhail bin ‘Iyadh (wafat th.187).”[3]

Disebut al-Jama’ah, karena mereka bersatu di atas kebenaran, tidak mau berpecah belah dalam urusan agama, berkumpul di bawah kepemimpinan para Imam (yang berpegan teguh) pada al-haqq (kebenaran), tidak mau keluar dari jama’ah mereka dan mengikuti apa yang telah menjadi kesepakatan Salaful Ummah.[4]

Jama'ah secara qur'an hadist (QS.ali imron 102-103,HR.bukhori,HR.Attirmidzi, HR.ahmad dan QS.alfatah 10): yang dimaksud jama'ah adalah menetapi beramir, berbai,at dan berthoat karena Allah.

Jama’ah menurut ulama ‘aqidah (terminologi) adalah generasi pertama dari ummat ini, yaitu kalangan Shahabat, Tabi'in, Tabi’ut Tabi’in serta orang-orang yang mengikuti langkah mereka dalam kebaikan hingga hari Kiamat, karena berkumpul di atas kebenaran.[5]

Imam Abu Syammah asy-Syafi’i rahimahumullah (wafat th.665 H) berkata : “Perintah untuk berpegang kepada jama’ah, maksudnya adalah berpegang kepada kebenaran dan mengikutinya. Meski pun yang melaksanakan Sunnah itu sedikit dan menyalahinya banyak. Karena kebenaran itu apa yang dilaksanakan oleh jam’ah yang pertama, yaitu yang dilaksanakan oleh Rasulullah shalallahu’alahi wa sallam dan para Shahabatnya tanpa melihat kepada orang-orang sesudah mereka yang melakukan kebathilan.

Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Mas’ud radiyallahu ‘anhu :[6]

Al-uzlah  adalah yang mengikuti kebenaran walaupun engkau sendirian dan berjama'ah adalah rahmat sedang tidak berjama'ah adalah sisksaan"[7]

Jadi, Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah orang yang mempunyai sifat dasar dan karakter mengikuti Sunnah Nabi shalallahu’alahi wa sallam dan menjauhi perkara-perkara yang baru dan bid’ah dalam agama.

Karena mereka adalah orang-orang yang Ittiba’ (mengikuti) kepada Sunnah Rasulullah shalallahu’alahi wa sallam dan mengikuti Atsar (jejak Salaful Ummah), maka mereka juga disebut Ahlul Hadits, Ahlul Atsar, Ahlul Ittiba’. Disamping itu, mereka juga dikatakan sebagai ath-Thaa-ifatul Manshuurah (golongan yang mendapatkan pertolongan Allah), al-Firqotun Naajiyah (golongan yang selamat), Ghurabaa’ (orang asing).

Tentang ath-Thaa-ifatul Manshuurah, Rasulullah shalallahu’alahi wa sallam bersabda:

“Senantiasa ada segolongan dari ummatku yang selalu mengakkan perintah Allah, tidak akan mencelakai orang-orang yang tidak menolong mereka dan orang yang menyelisihi mereka sampai datang perintah Allah dan mereka tetap di atas demikian itu.”[8]

Tentang al-Ghurobaa’, Rasulullah shalallahu’alahi wa sallam bersabda :

“Islam awalnya asing, dan kelak akan kembali asing sebagaimana awalnya, maka beruntunglah bagi al-Ghurobaa’ (orang-orang asing)[9]

Sedangkan makna al-Ghurobaa’ adalah sebagaimana diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash radiyallahu’anhu ketika suatu hari Rasulullah shalallahu’alahi wa sallam menerangkan tentang makna dari al-Ghurobaa’, beliau bersabda :

“Orang-orang yang shalih yang berada ditengah banyaknya orang-orang yang jelek, orang yang mendurhakai mereka lebih banyak daripada yang mentaati mereka.”[10]

Rasulullah shalallahu’alahi wa sallam bersabda mengenai makna al-Ghurobaa’:

“Yaitu, orang-orang yang senantiasa memperbaiki (ummat) di tengah-tengah rusaknya manusia”[11]

Dalam riwayat lain disebutkan:

“Yaitu orang-orang yang memperbaiki Sunnahku (Sunnah Rasulullah shalallahu’alahi wa sallam) sesudah dirusak oleh manusia.”[12]

Ahlus Sunnah, ath Tha-ifah al-Manshurah dan al-Firqatun Najiyyah semuanya disebut juga Ahlul Hadits. Penyebutan Ahlus Sunnah, ath Tha-ifah al-Manshurah dan al-Firqatun Najiyyah dengan Ahlul Hadits suatu yang masyhur dan dikenal sejak generasi Salaf, karena penyebutan itu merupakan tuntutan nash dan sesuai dengan kondisi dan realitas yang ada. Hal ini diriwayatkan dengan sanad yang shalih dari para Imam seperti : ’Abdullah Ibnul Mubarak: ‘Ali Ibnul Madini, Ahmad bin Hanbal, al-Bukhari, Ahmad bin Sinan dan yang lainnya radiyallahu’anhum.[13]

Imam asy-Syafi’i[14] (wafat th.204 H) rahimahumullah berkata: “Apabila aku melihat seorang ahli hadits, seolah-olah aku melihat seorang Shahabat Nabi shalallahu’alahi wa sallam, mudah-mudahan Allah memberikan ganjaran yang terbaik kepada mereka. Merka telah menjaga pokok-pokok agama untuk kita dan wajib atas kita berterima kasih atas usaha mereka[15]

Imam Ibnu Hazm az-Zhuhairi (wafat th.456 H) rahimahumullah menjelaskan mengenai Ahlus Sunnah : “Ahlus Sunnah yang kami sebutkan itu adalah ahlul haqq, sedangkan selain mereka adalah Ahlul Bid’ah. Karena sesungguhnya Ahlus Sunnah itu adalah para Shahabat radiyallahu’anhum dan setiap orang yang mengikuti manhaj mereka dari para Tabi’in yang terpilih, kemudian ash-haabul hadits dan yang mengikuti mereka dari ahli fiqh dari setiap generasi sampai pada masa kita ini serta orang-orang awam yang mengikuti mereka baik di timur maupun di barat.”[16]


[1] Lisaanul ‘Arab (VI/399)

[2] Buhuuts fii ‘Aqidah Ahlis Sunnah (hal.16)

[3] Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam (hal.495) oleh Ibnu Rajab, tahqiq dan ta’liq Thariq bin ‘Awadhullah bin Muhammad, cet. II-Daar Ibnul Jauzy-th.1420 H.

[4] Mujmal Ushuul Ahlis Sunnah wal Jama’ah fil Aqiidah.

[5] Syarhul ‘Aqiidah al-Waasithiyyah (hal.61) oleh Khalil Hirras.

[6] Beliau adalah seorang Shahabat Nabi shalallahu’alahi wa sallam, nama lengkapnya ‘Abdullah bin Mas’ud bin Ghafil bin Habib al-Hadzali, Abu ‘Abdirrahman, pimpinan Bani Zahrah. Beliau masuk Islam pada awal-awal Islam di Makkah, yaitu ketika Sa’id bin Zaid dan isterinya-Fathimah bintu ak-Khaththab-masuk Islam. Beliau melakukan dua kali hijarah, mengalami shalat di dua Kiblat, seta ikut serta dalam perang Badar dan perang lainnya. Beliau termasuk orang yang peling ‘alim tentang Al-Qur’an dan tafsirnya sebagaimana yang telah diakui oleh Nabi shalallahu’alahi wa sallam. Beliau dikirim oleh ‘Umar bin Khaththab radiyallahu ‘anhu ke Kufah untuk mengajar kaum Muslimin dan diutus oleh ‘Utsma radiyallahu ‘anhu ke Madinah. Beliau radiyallahu ‘anhu wafat tahun 32 H. Lihat al-Ishaabah (II/368 no.4954).

[7] Al-Baaits ‘alaa Inkaaril Bida’ wal Hawaadits hal.91-92, tahqiq oleh Syaikh Masyur bin Hasan Salman dan Syarah Ushuulil I’tiqaad karya al-Lalika-i (no.160).

[8] HR. Bukhari (no.3641) dan Muslim (no.1073(174)), dari Muawiyah radiyallahu’anhu.

[9] HR. Muslim (no.145) dari Shahabat Abu Hurairah radiyallahu’anhu

[10] HR. Ahmad (II/177,222), Ibnu Wadhdhah no.168. Hadits ini dishahihkann oleh Syaikh Ahmad Syakir dalam tahqiq Musnad Imam Ahmad (VI/207 no.6650). Lihat juga Bashaa-iru Dzawi Syaraf bi Syarah Marwiyyati Manhajas Salaf hal. 125.

[11] HR. Abu Ja’far ath-Thahawi dalam Syarah Musykilil Aatsar (II/170 no.689), al-Lalika-i dalam Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah (no.173) dari Shahabat Jabir bin ‘Abdillah radiyallahu’anhu. Hadits ini shahih li ghairihi karena ada beberapa syawahidnya. Lihat Syarah Musykilil Aatsaar (II/170-171) dan Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (no.1273)

[12] HR. At-Tirmidzi (no.2630), beliau berkata, “Hadits ini hasan shahih.” Dari Shahabat ‘Amr bin ‘Auf radiyallahu’anhu.

[13] Sunan at-Tirmidzi: Kitaabul Fitan no.2229. Lihat Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah karya Imam Muhammad Nashiruddin al-Albany rahimahumullah (I/539 no.270) dan Ahlul Hadiits Humuth Thaa-ifah al-Manshuurah karya Syaikh Dr.Rabi’ bin Hadi al-Madkhali.

[14] Lihat kembali biografi beliau rahimahumullah.

[15] Lihat Siyar A’laamin Nubulaa’ (X/60).

[16] Al-Fishal Fil Milal wal Ahwaa’ wan Nihal (II/271), Daarul Jiil, Beirut

Sumber : Syarah Aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaa’ah Hal : 36-41 dan nasehat pokok plus hal 11-12.
Karya : Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas